Langsung ke konten utama

SERUNYA PUNYA ANAK DENGAN JARAK USIA BERDEKATAN

My Little Family

Saya termasuk orang yang perlu menunggu sebelum akhirnya dikaruniai anak. Kira-kira satu tahun setelah menikah saya dan suami menunggu sebelum akhirnya Allah amanahi kami si kakak. Tapi alhamdulillah.. Ketika kami berencana untuk punya anak kedua, saya hanya perlu menunggu waktu sebulan saja setelah niatan tersebut. Jadilah anak pertama dan kedua saya usianya tidak terpaut jauh, 2.5 tahun tepatnya. Bahkan saya sempat "ditegur" tante saya di acara keluarga. Katanya anak sekarang senengnya buru-buru banget (Ya tante.. Kalau udah dikasih sama Allah ya gimana ye..😜).
Punya anak dengan usia yang cukup dekat memang ada suka dukanya moms. Waktu saya hamil anak kedua, saya sampai khawatir dengan si kakak. Kekhawatiran ini sampai bikin saya gloomy (padahal mah si kakak biasa saja🙊). Saya cari informasi tentang sibling rivalry, memikirkan kado untuk kakak supaya dia happy pas adiknya lahir sampai mempersiapkan kamar perawatan supaya si kakak bisa ikut nginep di rumah sakit waktu saya lahiran. 
Ketika akhirnya si adik lahir, benar saja, ternyata punya 2 anak itu memang jadi tantangan tersendiri buat saya. Ini bukan tentang kerepotannya ya moms, yang namanya emak mah mau anak 1, 2 atau lebih ya tetap saja repot. Tapi tentang bagaimana bersikap adil dan menebarkan cinta yang sama untuk kakak dan adik. Terkadang saya sampai bingung sendiri ketika si kakak heboh mengajak saya main sedangkan si adik sudah siap sedia untuk tidur. Kakak punya kebutuhan untuk main dan belajar, sedangkan adik punya kebutuhan untuk nenen dan tidur. Nah.. Menyatukan keduanya itu yang kadang bikin saya hampir jungkir balik. Baru saja si adik lelap, tiba-tiba kakak teriak kencang karena semangat main lari-larian. Langsung bubar deh semuanya... 🙈
Tapi seiring berjalannya waktu, saya pun mulai dapat merasakan ritmenya. Memang jadi ibu tuh membuat kita jadi kreatif ya moms. Saya pun mengatur strategi agar kebutuhan kedua anak saya tetap terpenuhi. Misalnya adik digendong saat tidur ketika kakak semangat main. Biasanya adik jadi lebih tenang dan lelap ketika digendong, jadi peluang terganggunya lebih kecil atau mengajak kakak melakukan aktivitas yang lebih tenang, misalnya baca buku atau menggambar. Sejauh ini strategi seperti itu lumayan membantu saya untuk mengatur kondisi rumah agar lebih kondusif. 

Kakak yang semakin susah diajak foto

Meskipun repot, bagi saya memiliki anak dengan usia berdekatan lebih banyak untungnya loh, Soalnya... 
Pertama, kita masih cukup bugar untuk mengurus anak-anak kita. Taruhlah moms menikah seperti saya di usia 27 tahun. Saya baru punya anak diusia 28, anak kedua saya lahir saat saya 30 tahun. Saat ini saya sedang dalam kondisi fisik yang sangat prima. Kalau jarak usia kedua anak saya 5 tahun misalnya mungkin kondisinya akan berbeda dari sekarang. Belum lagi kalau saya mau nambah anak lagi😆. Kalau ada yang bilang punya anak yang usianya dekat biar capeknya sekalian, mungkin ada benarnya juga. Insya Allah kalau anak-anak sudah mentas, moms tinggal honeymoon lagi deh bareng suami, hehe. 
Kedua, biasanya anak pertama akan lebih cepat terbangun kemandiriannya. Terbukti pada si kakak, ia tampak lebih mandiri dari anak-anak seusianya. Mulai dari menaruh bekas makan di tempat cuci piring, pakai baju, membereskan mainan sampai buang air kecil,  kakak sudah bisa melakukannya sendiri. Walaupun terkadang kakak masih minta tolong saya juga. Namun buat saya hal tersebut bukan masalah, karena diusianya, kakak sebetulnya belum dituntut untuk bisa melakukan hal-hal tersebut dengan sempurna. Bisa makan tanpa disuapi saja sebetulnya sudah sangat bagus untuk anak usia 2.5 tahun. 
Ketiga, adik memperoleh stimulus lebih dari lingkungan. Diusia seperti kakak, saya banyak memberikan stimulus-stimulus melalui permainan dan membacakan cerita. Karena adik selalu bersama-sama kami, tentu adik pun ikut terpapar stimulus yang saya berikan. Efek yang terasa adalah perkembangan adik tampak lebih maju kalau saya bandingkan dengan kakaknya pada usia yang sama. Misalnya dari segi interaksi dengan orang lain melalui kontak mata, tersenyum saat diajak bicara dan bubbling yang lebih beragam (tidak hanya sekedar mengeluarkan suara hmm..mm). 
Keempat, kita masih cukup terampil ngurus anak karena masih ingat caranya. Kakak saya pernah cerita, ketika anak keduanya lahir, ia sempat kagok lagi menggendong bayi karena lupa caranya. Kebetulan jarak usia anak kakak saya 5 tahun lebih. Kalau jaraknya dekat, biasanya kita lebih ringan saat mengurus anak kedua. Karena kita belum lupa cara mengurusnya seperti ketika kita mengurus si kakak. 
Kelima, biasanya anak yang lahir dengan jarak usia dekat lebih akrab dibandingkan dengan yang jarak usianya jauh. Anak yang lebih besar biasanya sudah punya kesukaan dan kesibukan sendiri. Sedangkan anak balita memang masih beraktivitas bersama ibunya. Berhubung kami dua puluh empat jam selalu bersama, kedekatan antara kakak dan adik otomatis tarbangun. Sering saya temui keduanya seperti lagi asik mengobrol (tentunya dengan bahasa masing-masing, hehe). Bahkan ketika adik menangis si kakak kadang suka membantu saya untuk membujuk adik dan ajaibnya si adik langsung anteng! Abinya saja butuh ekstra usaha, agar si adik bisa luluh dan anteng waktu digendong. 
Intinya semua sama-sama baik sih... Mau punya anak dengan jarak usia dekat atau jauh. Lagi pula semua kan bergantung pada Allah yang memberikan amanah. Hal yang terpenting adalah mau jauh atau dekat jarak usianya, moms bisa menikmati perannya sebagai ibu. Kerepotan yang dihadapi sehari-hari bisa dihayati sebagai warna dalam kehidupan, bukannya beban.

Selamat menjadi ibu yang bahagia ya moms! 

Komentar

  1. Wah mendukung bgt blognya mba saya jg ank Pertama sm kedua 2th an bun Dan skrg ank kedua 6bln saya udh d ksh lg Mba 😉Minta doanya ya mba hehe🙏😇

    BalasHapus

Posting Komentar

Hai! Terima kasih sudah membaca artikel ini. Silahkan tinggalkan komentar untuk saran dan masukan atau jika Moms menyukai tulisan ini. Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar yah dan komentar Moms akan dimoderasi untuk kenyamanan pembaca blog ini. Salam! (^,^)

Postingan populer dari blog ini

CARA MEMBUAT ECO ENZYME

Setelah berkomitmen untuk belajar gaya hidup hijau, keluarga kami mulai mengkonversi segala produk yang dapat merusak lingkungan, salah satunya adalah sabun. Setelah berhasil membuat sabun lerak, saya pun penasaran membuat jenis sabun lainnya. Kali ini sedikit lebih ekstrem, saya membuatnya dari sampah organik rumah tangga. Dari sampah bisa jadi bahan pembersih? Masa sih? Bisa saja.  Baca juga:  MENCUCI DENGAN SABUN LERAK Dikembangkan oleh Dr. Rosukon Poompanvong, eco enzyme atau cairan organik dari olahan sampah organik rumah tangga bisa dibuat sebagai bahan pembersih. Apa itu eco enzyme? Eco enzyme adalah hasil olahan limbah dapur yang difermentasi dengan menggunakan gula. Limbah dapur dapat berupa ampas buah dan sayuran. Gula yang digunakan pun bisa gula apa saja, seperti gula tebu, aren, brown sugar,dll). Saya pribadi belum berani bikin dari ampas dapur yang aneh-aneh. Saya buat dari kulit buah jeruk dan apel. Agar hasil eco enzyme-nya wangi,hehe. Cara membuat eco

MENGATASI DERMATITIS ATOPIK PADA ORANG DEWASA

Moms yang punya anak bayi mungkin sudah familiar dengan istilah Dermatitis Atopik atau Eczema. Dermatitis atopik adalah kondisi kulit kronis yang menyebabkan serangan gatal-gatal yang kemudian menyebabkan kulit menjadi kering keabuan dan pecah hingga berdarah. Kondisi dermatitis atopik ini umumnya muncul pada bayi dan menghilang seiring dengan pertambahan usia anak. Tapi, tahukah, Moms, kalau ternyata dermatitis atopik juga dapat menyerang orang dewasa? Itulah yang terjadi pada saya, riwayat alergi dan asma yang menurun dari si mamah membuat saya menderita penyakit kulit ini.  dermatitis atopik pada orang dewasa biasanya muncul pada rentang usia 20-30an. Awalnya kulit saya biasa saja. Namun, sekitar tahun 2016, muncul beberapa lenting kecil di jari manis yang kemudian menyebar di seluruh tangan kiri. Lenting atau benjol kecil iti biasanya pecah atau mengering sendiri menjadi kulit yang terkelupas. Tak jarang, kulit terkelupas ini juga meninggalkan luka yang sampai berdarah.

BERKUNJUNG KE KEBUN RAYA BOGOR DI TENGAH PANDEMI

Sejak corona merebak, praktis selama nyaris lima bulan, kami betul-betul di rumah saja. Pergi ke minimarket pun bisa dihitung pakai jari satu tangan. Saya yang biasanya lebih suka di rumah, bahkan sudah mulai jengah. Indikatornya terlihat ketika saya gampang banget marah-marah. Si sulung juga mulai rungsing, pasalnya saya enggak izinkan ia untuk main sepeda sama teman-temannya. Bukan apa-apa, anak-anak masih sangat teledor menjaga kebersihan. Pernah sekali saya izinkan si sulung dan si tengah untuk main bareng teman-temannya. Baru beberapa menit keluar, maskernya sudah entah kemana. Saya dan suami memang berencana untuk mengajak anak-anak untuk berwisata ke Kebun Raya Bogor. Pertimbangannya karena lokasi yang dekat dengan rumah ditambah ruang terbuka yang kami asumsikan lebih aman untuk menjaga diri dari paparan corona. Itu pun maju mundur. Baru berniat pergi di awal minggu, tiba-tiba lihat di media kasus corona bertambah lebih dari seribu. Ciut saya tuh ... daripada