Langsung ke konten utama

DRAMA ART: DILEMA ANTARA PEGAL BADAN DAN PEGAL HATI

Sumber gambar: Pexels.com


Dulu, ketika saya memutuskan untuk resign, bayangan tentang menjadi ibu rumah tangga ideal sudah terasa di depan mata. Membayangkan waktu-waktu produktif yang saya habiskan bersama buah hati dengan bermain dan belajar sepanjang hari, juga rumah kinclong yang rapi jali.

Di otak saya sudah berseliweran semacam kurikulum bermain yang akan saya persiapkan untuk si kakak. Yakin kehidupan saya dan kakak akan sangat berbeda dari sebelumnya. Kami akan menghabiskan banyak waktu berdua sambil menunggu abinya pulang. Sesulit apa sih? Dengan pengalaman meng-handle anak usia dini dan latar belakang pendidikan saya, tentu itu hal yang mudah (sambil hidung kembang kempis karena jumawa). 

Lalu, anak demi anak pun hadir. Semua yang awalnya terhandle sendiri tanpa asisten mulai keteteran. Boro-boro menyiapkan alat permainan untuk anak-anak. Cucian piring dan setrikaan tidak menggunung sudah syukur. Apa saya tergoda untuk pakai asisten? Tentu tidak! Masa begitu saja saya sudah menyerah. Saya yakin masih bisa mengurus semuanya, sendirian! (sambil pasang ekspresi ala sinetron yang di-zoom in dan zoom out)

Baca juga: 4 HAL YANG PERLU MOM PERHATIKAN SEBELUM RESIGN

Harapan vs Realita

Namun, bukannya mengisi waktu dengan membersamai anak, waktu saya habis mengurus dapur. Bermain dengan anak-anak setengah hati, karena tubuh yang kelelahan setelah menggosok jelaga di pantat panci. Ya Allah... perasaan bukan karena ini saya merelakan karir saya. Apa bedanya waktu pagi sampai petang yang saya habiskan di kantor atau di rumah jika sama-sama tidak berkualitas saat bersama anak.

Gayung bersambut, di tengah kegalauan saya, muncul lah si teteh. Orang ini bukanlah orang baru bagi saya dan anak-anak. Dengan pertimbangan itu akhirnya saya menerima tawaran si teteh untuk membantu saya di rumah. Tawaran? Yup, karena memang ia yang datang mengajukan diri menjadi ART saya. Hampir setahun ia bekerja dengan saya, hingga tiba-tiba muncul lah wabah corona. Terpaksa saya rumahkan si teteh untuk sementara. Akhirnya, saya kembali ke kebiasaan lama saya, gedebukan sendiri mengurus rumah tangga dengan sesekali paksu membantu di sela pekerjaan kantornya.

Di tengah wabah yang belum mereda, saya bermaksud meminta si teteh untuk bekerja kembali dengan pertimbangan kondisi saya yang mulai butuh bantuan. Namun, apa mau dikata, ternyata teteh yang membantu saya malah pergi ke lain hati, wkwkwk (tertawa miris). Dia bekerja dengan orang lain dan berniat berhenti. Padahal selama pandemi ini, meski ia tidak masuk kerja, saya tetap menggajinya secara penuh.

Patah hati? Sedikit... Namun, saya sadar kalau di dunia ini tidak ada yang abadi. Kalau hubungan pertemanan saja bisa datang dan pergi, apalagi hubungan ART dan majikan semacam ini.

Plus Minus Pakai ART

Ada beberapa alasan mengapa saya malas pakai asisten rumah tangga. Salah satunya karena banyaknya drama yang sering dihadapi ibu saat menggunakan jasa asisten rumah tangga. Saya sudah kenyang lihat ibu saya dulu gonta ganti ART. Sebelum dengan si teteh pun saya sempat punya ART dan berakhir kurang mengenakan. Mau ART baik atau jahat, mempekerjakan ART tetap ada potensi konflik. Intinya, saya jadi seperti punya trauma pakai asisten rumah tangga.

Selain penuh drama, kita pun harus merogoh kocek cukup dalam untuk menggunakan jasa asisten rumah tangga. Sebagai gambaran, saya menggaji Rp. untuk ART pulang hari yang kerja hanya dari jam 8-12 siang. Itu belum termasuk pulsa dan makan siang yang saya sediakan. Tugasnya hanya bersih-bersih dan cuci setrika, sedang urusan masak tetap saya handle sendiri.

Sudah membayar cukup mahal, hasil kerjanya belum tentu sesuai espektasi. Terkadang saya harus mencuci ulang beberapa benda karena kurang bersih atau berulang kali menjelaskan standar kerja saya dan tetap dengan hasil jauh dari harapan.

Namun, tidak bisa dipungkiri juga, keberadaan ART sangat membantu tugas ibu sehari-hari. Dari pada ibu berkutat seharian mengurus hal-hal domestik, lebih baik waktunya dimanfaatkan untuk main bersama anak atau mengembangkan diri. Tugas rumah tangga akan selalu menumpuk dan harus dikerjakan. Kalau menunggu semua tugas rumah tangga selesai, bisa-bisa anak keburu dipinang orang😂. Sayang banget kan? Padahal tugas utama ibu bukan itu, tapi mendampingi buah hati hingga ia mentas nanti.

Mendelegasikan tugas rumah tangga pada ART juga bisa mengurangi stres. Ibu tidak perlu berlelah-lelah mencuci, menyetrika dan tetek bengek lainnya. Ibu mungkin akan punya "me time" lebih banyak, juga lebih mudah untuk bersosialisasi karena pekerjaan rumah terjamin akan rapi. Setidaknya ada beban pikiran yang berkurang, sehingga ibu bisa fokus memikirkan hal-hal yang lebih penting dan bermakna.


Jadi, lebih baik pakai ART atau tidak?

Sekarang semuanya dikembalikan pada masing-masing ibu, konsekuensi apa yang siap untuk dihadapinya. Pakai jasa ART, urusan pekerjaan rumah memang terselesaikan, namun tetap punya potensi untuk memunculkan masalah baru. Selain harus menyediakan dana khusus untuk gaji, makan, pulsa, THR dan (mungkin) biaya-biaya lainnya, mencari ART yang cocok dengan keluarga bukanlah perkara mudah. Kenapa keluarga? Karena ia akan berinteraksi dengan seluruh anggota keluarga juga kan. ART saya sebelumnya ternyata kurang cocok dengan ibu mertua, hal tersebut tentu juga menimbulkan masalah.

Belum lagi persoalan akhlak dan kejujuran yang bersangkutan. Sudah banyak kan dengar berita ART yang mencuri atau berbuat kurang baik pada anak majikan? Artinya seleksi ART sebelum bekerja itu penting banget. Kita akan memasukan orang lain ke dalam rumah, orang yang sama sekali tidak diketahui latar belakangnya. Meski biasanya kita meminta KTP yang bersangkutan untuk jaga-jaga, tapi apa jaminannya kalau orang tersebut baik atau jahat .

Meski pakai ART, penting bagi ibu untuk memiliki mindset mandiri, agar saat ditinggal ART pergi, ibu selalu siap mental (sumber gambar: freepik.com)

Saya pribadi, akhirnya memutuskan untuk tidak lagi pakai ART. Dengan pertimbangan, lebih baik pegal badan dari pada pegal hati,hehe. Tentunya ada konsekuensi yang mengikuti dari keputusan saya tersebut, "me time" saya berkurang dan tentu saja saya harus ekstra disiplin kalau saya mau semua tugas terlaksana. Di samping itu, saya pun harus menurunkan espektasi dengan membiarkan rumah apa adanya.

Konklusi

Rupanya ibu memang tidak bisa memperoleh semua hal. Ibu tetap harus menentukan prioritas. Kalau saya, parameter menentukan prioritas dilihat dari apa hal yang paling membuat saya gusar kalau tidak sesuai dengan harapan. Kalau ada hambatan yang membuat saya terganggu banget, berarti itu masalah yang harus jadi fokus saya.

Sekarang saya lebih legowo sama urusan rumah. Tidak apa-apa berantakan sedikit, asal anak-anak terurus dengan baik. Tidak apa kalau tidak ada ART, karena ada atau tidak, toh kita harus punya mindset yang mandiri. Asisten tetaplah asisten, kapan pun ia bisa pergi.

Saya tinggal pintar-pintar mengatur aktivitas setiap hari. Mengurangi hal-hal yang hanya membuang waktu dan tenaga, juga berusaha untuk bekerja lebih cerdas. Mengurus cucian ternyata butuh strategi juga, lho... wkwkwk. Kapan-kapan saya share deh tipsnya.

Kewarasan ibu tetap harus dijaga. Ada ART bukan berarti bikin ibu tambah waras, begitu pula sebaliknya. Intinya, buatlah keputusan sesuai kapasitas diri dan ikhlas menjalani segala konsekuensi.


Komentar

  1. Muyassaroh29 Mei 2020 15.04

    Memang kalau pakai ART, pekerjaan terasa lebih ringan ya, Mbak. Namun, saat ada ketidakcocokan, sungguh capek hati. Sampai sekarang saya masih mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, karena sempat punya ART, hanya saja kurang cocok. Alhamdulillah, karena ini adalah pilihan yang saya ambil, harus disyukuri dan dinikmati. Tentu juga harus pintar-pintar bagi waktu terutama saat pandemi di mana anak-anak harus belajar dari rumah dengan pendampingan penuh dari kita :)

    BalasHapus
  2. Iya ya mbak. Saya juga nggak ada ART, tapi untuk setrika ada yang rutin kerjakan seminggu sekali datang ke rumah. Pekerjaan lain bisa dibantu semua anggota keluarga. Kan melatih tanggung jawab juga sama anak-anak.

    Setuju. Pegel hati lebih berat loh daripada pegel badan.

    BalasHapus
  3. Maria G Soemitro 29 Mei 2020 19.08

    Wah persis nih dengan saya, berhenti kerja karena di rumah ada ayah mertua yang sakit sakitan dan 2 orang anak.
    Sementara ART in out, cape banget
    Ternyata stress banget, mana ayahnya anak anak ga pernah bantu
    Sering banget nyusuin (nenenin) anak ke 3 sambil nyusuin (pake botol)anak ke2
    Ah panjang cerita saya, kayanya harus bikin tulisan juga 😁😁😁

    BalasHapus
  4. Mendapatkan ART yang mendekati harapan itu sepertinya untung-untungan banget sekarang ini ya.
    Kalau hanya sekedar pekerjaan yg agak dibawah ekspektasi, masih bisa dipahami.
    Kadang ada yg nyonya rumah rasanya dibuat seperti 'numpang' di rumahnya sendiri :D

    Ibu tetaplah manager keluarga terbaik ya.

    BalasHapus
  5. Nia K. Haryanto30 Mei 2020 02.08

    Hehehe, banyak ternyata ya yang mengalami hal seperti ini. Aku kebetulan gak punya pengalaman kayak gini. Belom punya ART soalnya. Selain karena memang full time di rumah, juga karena aku yakin, aku gak bakalan bisa Nemu ART yang sesuai dengan keinginan. Aku bawel Dan perfectionist. Kayaknya gak bakal ada yg kuat. Hehehe

    BalasHapus
  6. Ratna Kirana30 Mei 2020 10.47

    Luar biasa mommy, konsisten banget sebagai ibu rumah tangga. Saya belum ada anak, tapi kadang manggil ART hehe :) padahal udah gak merja kantoran lagi hihi

    BalasHapus
  7. Alvianti - Memories.id31 Mei 2020 21.58

    Wah ternyata seproblematik itu ya urusan rumah tangga. Kalau saya harus berkeluarga di luar Indonesia, di tempat tinggal saya sekarang di Jerman, bakal lebih drama lagi dong. Di sini bayaran untuk pekerjaan dihitung per jam dan sangat mahal. Harus mengurus asuransi pula. Belum lagi kepribadian ART nya nanti yang nggak tahu gimana.
    Pantesan aja orang-orang di sini jarang banget ada yg punya ART. Tapi, itu berarti, harus disiplin banget supaya berbagai tugas rumah tangga nggak keteteran ya. Hmmm

    BalasHapus
  8. Tira Soekardi1 Juni 2020 03.02

    aku setelah anak bungksuku 4 tahun gak pakai lagi ART walau aku kerja, anak2 jd mandiri dan bergotong royong bersama2

    BalasHapus
  9. Alfa Kurnia2 Juni 2020 15.23

    Saya selama ini selalu pakai ART, Mbak. Sejak masih kerja kantoran maupun setelah jadi IRT. Pernah ada masanya nggak pakai ART ternyata bikin saya keteteran waktu dan tenaga. Jadi saya salut sama para ibu baik yang kerja di rumah maupun kerja di kantor tapi nggak pakai ART. Kalau soal drama ya pasti adalah tapi alhamdulillah selama ini lebih banyak okenya daripada nggak okenya.

    BalasHapus
  10. Ulfah Wahyu3 Juni 2020 07.04

    Alhamdullillah selama ini sejak resign dari pekerjaan sebagai guru TK saya juga tanpa ART Mbak. Ngurus 3 anak sampai dua diantaranya sekarang sudah menginjak remaja. Masih ada do si kecil umur 6 tahun. Sempat pake ART di 3 bulan awal tahun kemarin, karena ada ibu mertua yang sakit di boyong ke rumah. Tapi setelah ibu wafat 2 bulan yang lalu, ART saya hentikan. Sekarang kembali sendiri lagi tanpa ART, yang penting kita bisa mengelola waktu dengan baik, masih tetap bisa me time, hehe itu pengalaman saya sih.

    Tapi yang jelas, nuansa hati ibu harus tetap dijaga agar bahagia, karena ibj itu ruhnya keluarga. Sekali-kali membiarkan rumah apa adanya juga gak apa, yang penting badan bisa iatirahat. Semangat ya Mbak.

    BalasHapus
  11. Shafira Adlina3 Juni 2020 11.12

    Bener nih mbak cempaka. Dikembalikan lagi tujuan memakai art, karena setiap org berhubungan berkerja sama pasti ada aja kerikil2nya. Ga bs plek 100% sama apa yg kita inginkan. Semangat semua pilihan pasti ada plus minusnya

    BalasHapus
  12. Imawati A. Wardhani3 Juni 2020 12.28

    Gpp Mbak rumah berantakan "sedikit", nanti lama2 terbiasa kok. Wkwk. Yang penting dibawa enjoy dan jgn jadikan pekerjaan IRT sbg beban mbak. Semangadh!

    BalasHapus
  13. Dhika Suhada3 Juni 2020 13.40

    Wah ternyata banyak temennya nih. Pengen punya ART tapi ragu kalau dapetnya yang gak cocok atau gak jujur. Gak pake ART rasanya kok lelah sekali ini badan butuh bantuan. Tetep semangat apapun keadaannya sekarang ya.

    BalasHapus
  14. Memang benar, pilihan kembali lagi pada Ibunya. Harus diakui, memilih ART bagai memilih jodoh juga. Yang cocok itu jarang, tapi bukan berarti ngga ada kekurangan ya, namanya juga manusia. Saya sendiri sekarang ga pakai ART, karena lebih dari karakter orang rumah yang private tipenya hehe. Bagus nih topik and tulisannya mba

    BalasHapus
  15. www.derisafriani.xyz4 Juni 2020 07.50

    Sama dengan yang saya alami. Memilih resign dengan segunung cita2 dan setumpuk kurikulum yang ingin diaplikasikan bersama anak. Nyatanya nol besar. Ekspektasi jauh dari realita. Mana tidak memungkinkan punya ART. Akhirnya menurunkan standar. Meraih apa yang sampai saja. Dan tetap berayukur.

    BalasHapus
  16. steffifauziah4 Juni 2020 09.04

    memang pakai ART atau gak tuh bikin galau ya mba. saya aja berniat mau pakai bantuan mesin wkwkwk. kan lagi zaman tuh, pakai mesin sapu pel yang bentukannya bulet. sapa tau membantu untuk meringankan pekerjaan rumah. apalagi juga katanya ada mesin setrika. kalau harganya murah saya juga beli deh wkwkwk. tinggal masak dan cuci piring aja deh kerjaannya, hehe.

    BalasHapus
  17. Uniek Kaswarganti5 Juni 2020 17.04

    Sejak anak kedua lahor, saya pakai ART mba. Tugas utamanya untuk menjaga si bocah ketika saya harus masuk kantor lagi setelah cuti melahirkan. Sampai sekaranf ketika saya sudah tidak ngantor lagi, si bibi ART masih ikut. Kata suamiku, kesian klo diberhentiin, si bibi ini tak punya andalan untuk menanggung kehidupannya. Emang kadang cape hati juga ada, tapi alhamdulillah so far saya terbantu sekali dengan kehadirannya. Saya jadi bisa mengerjakan hal-hal lain yang lebih produktif.

    BalasHapus

Posting Komentar

Hai! Terima kasih sudah membaca artikel ini. Silahkan tinggalkan komentar untuk saran dan masukan atau jika Moms menyukai tulisan ini. Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar yah dan komentar Moms akan dimoderasi untuk kenyamanan pembaca blog ini. Salam! (^,^)

Postingan populer dari blog ini

CARA MEMBUAT ECO ENZYME

Setelah berkomitmen untuk belajar gaya hidup hijau, keluarga kami mulai mengkonversi segala produk yang dapat merusak lingkungan, salah satunya adalah sabun. Setelah berhasil membuat sabun lerak, saya pun penasaran membuat jenis sabun lainnya. Kali ini sedikit lebih ekstrem, saya membuatnya dari sampah organik rumah tangga. Dari sampah bisa jadi bahan pembersih? Masa sih? Bisa saja.  Baca juga:  MENCUCI DENGAN SABUN LERAK Dikembangkan oleh Dr. Rosukon Poompanvong, eco enzyme atau cairan organik dari olahan sampah organik rumah tangga bisa dibuat sebagai bahan pembersih. Apa itu eco enzyme? Eco enzyme adalah hasil olahan limbah dapur yang difermentasi dengan menggunakan gula. Limbah dapur dapat berupa ampas buah dan sayuran. Gula yang digunakan pun bisa gula apa saja, seperti gula tebu, aren, brown sugar,dll). Saya pribadi belum berani bikin dari ampas dapur yang aneh-aneh. Saya buat dari kulit buah jeruk dan apel. Agar hasil eco enzyme-nya wangi,hehe. Cara membuat eco

MENGATASI DERMATITIS ATOPIK PADA ORANG DEWASA

Moms yang punya anak bayi mungkin sudah familiar dengan istilah Dermatitis Atopik atau Eczema. Dermatitis atopik adalah kondisi kulit kronis yang menyebabkan serangan gatal-gatal yang kemudian menyebabkan kulit menjadi kering keabuan dan pecah hingga berdarah. Kondisi dermatitis atopik ini umumnya muncul pada bayi dan menghilang seiring dengan pertambahan usia anak. Tapi, tahukah, Moms, kalau ternyata dermatitis atopik juga dapat menyerang orang dewasa? Itulah yang terjadi pada saya, riwayat alergi dan asma yang menurun dari si mamah membuat saya menderita penyakit kulit ini.  dermatitis atopik pada orang dewasa biasanya muncul pada rentang usia 20-30an. Awalnya kulit saya biasa saja. Namun, sekitar tahun 2016, muncul beberapa lenting kecil di jari manis yang kemudian menyebar di seluruh tangan kiri. Lenting atau benjol kecil iti biasanya pecah atau mengering sendiri menjadi kulit yang terkelupas. Tak jarang, kulit terkelupas ini juga meninggalkan luka yang sampai berdarah.

BERKUNJUNG KE KEBUN RAYA BOGOR DI TENGAH PANDEMI

Sejak corona merebak, praktis selama nyaris lima bulan, kami betul-betul di rumah saja. Pergi ke minimarket pun bisa dihitung pakai jari satu tangan. Saya yang biasanya lebih suka di rumah, bahkan sudah mulai jengah. Indikatornya terlihat ketika saya gampang banget marah-marah. Si sulung juga mulai rungsing, pasalnya saya enggak izinkan ia untuk main sepeda sama teman-temannya. Bukan apa-apa, anak-anak masih sangat teledor menjaga kebersihan. Pernah sekali saya izinkan si sulung dan si tengah untuk main bareng teman-temannya. Baru beberapa menit keluar, maskernya sudah entah kemana. Saya dan suami memang berencana untuk mengajak anak-anak untuk berwisata ke Kebun Raya Bogor. Pertimbangannya karena lokasi yang dekat dengan rumah ditambah ruang terbuka yang kami asumsikan lebih aman untuk menjaga diri dari paparan corona. Itu pun maju mundur. Baru berniat pergi di awal minggu, tiba-tiba lihat di media kasus corona bertambah lebih dari seribu. Ciut saya tuh ... daripada