Langsung ke konten utama

5 CARA MENGHADAPI BALITA SUKA MEMBANTAH

Balita suka membantah
Sumber foto: Karosiebien-Pixabay

Hampir semua orang pasti pernah mendengar cerita Pinokio. Iya... boneka kayu yang hidungnya berubah panjang ketika berbohong. Cerita tersebut bisa dibilang punya makna yang begitu jelas, "jangan berbohong! Atau kamu akan menerima akibatnya". Pelajaran yang sangat mudah dicerna oleh anak-anak. 

Namun, bagi saya, cerita Pinokio sebetulnya juga punya makna tersirat. Bukan untuk pembaca cilik kita, tapi justru bagi kita orang tua. Pinokio, sebuah boneka kayu yang awalnya tak bernyawa, dibuat oleh manusia, tanpa akal budi dan tanpa hati. Namun dengan sejumput sihir peri, Pinokio dapat bergerak dan menari, layaknya anak laki-laki, yang ternyata sudah begitu lama didamba si pembuat boneka. Namun, bukannya patuh dan menurut pada ayahnya, Pinokio justru bergerak semaunya. Pergi tanpa izin dari sang ayah, hingga ia kena batunya.


Sampai sini, apa Anda bisa menangkap makna tersiratnya?


Yup, si boneka kayu, Pinokio yang awalnya pasrah tak bernyawa, kemudian berubah berbuat sekehendaknya. Karena apa? Karena ia kini bernyawa, punya akal budi, punya keinginan. Tidak berbeda dengan anak-anak kita, mereka diciptakan jauh lebih mulia dari si Pinokio. Lalu, apa bisa kita minta mereka berlaku layaknya boneka kayu? Kita gerakan sekehendak hati kita dan mereka pasrah tak melawan. Saya rasa nature manusia tidaklah demikian. Setiap diri kita pasti punya dorongan untuk berlaku sekehendak hati kita. Tentu saja, dengan norma dan kepentingan orang lain, kita akhirnya belajar untuk mengendalikan perilaku dan keinginan kita.


Anak-anak bergerak dengan spontanitas. Mereka belum dapat membedakan mana yang baik dan buruk. Bagi anak yang lebih muda, perilaku yang muncul biasanya didorong oleh keinginan semata, karena pada dasarnya anak balita masih egosentris. Namun, bukan berarti anak dibiarkan semaunya. Di situlah tugas kita orang tua, mengarahkan mereka agar dapat bertindak sesuai norma, tetapi tentunya dengan cara yang tetap membuat mereka bahagia.


PENYEBAB BALITA SUKA MEMBANTAH


Layaknya semua manusia, balita pun punya keinginan pribadi. Anak saya yang baru berusia satu tahun pun sudah bisa melarikan diri ketika ia tidak mau disuapi. Belum lagi si tengah yang harus dibujuk setengah mati agar mau mandi. Sebetulnya, apa yang membuat anak-anak ini begitu sulit diberi tahu? Mengapa kata "tidak" seperti sebuah kata favorit yang langsung terucap bahkan sebelum kita menyelesaikan kalimat permintaan kita?


Pada dasarnya, anak kecil pun ingin punya otonomi. Dengan segala keterbatasan mereka, anak-anak pun ingin mandiri dan merasa berdaya. Namun, ada beberapa kendala yang dihadapi seorang balita, yang menyebabkan ia tampak seperti pembangkang.


Keterbatasan bahasa


Balita memiliki kosakata yang terbatas, namun bukan berarti otaknya bekerja dengan terbatas. Percayalah bahwa Allah menciptakan kemampuan berpikir yang luar biasa pada diri kita bahkan sejak kita belum mampu banyak berkata. Namun, kendala bahasa sering membuat balita frustrasi. Mereka ingin dimengerti, meski seringkali orang tua salah mengartikan keinginan anak-anaknya. Ini hal yang sangat wajar, tetapi jika ini terus berlangsung, bukan tidak mungkin anak akan tampak mulai "bertingkah" untuk membuat kita lebih memahami mereka.


Tidak ada balita yang punya niat jahat, mereka hanya ingin dipahami. Kita mungkin merasa anak kita menjadi "nakal", namun sesungguhnya mereka sedang mencoba menarik perhatian agar lebih dipahami. "Dengarkan aku! Ini yang aku inginkan." orang dewasa lebih mudah mengekspresikan apa yang mereka harapan, namun bagi balita, mengucapkan hal sederhana seperti itu bukan hal yang mudah.


Stres 


Stres bukan hanya dihadapi oleh orang dewasa. Balita pun sangat mungkin mengalami stres. Kebanyakan orang tua kurang menyadari kapasitas anaknya. Meminta anak balitanya diam, sedangkan balita memang tidak diciptakan untuk diam. Meminta anak tidak menumpahkan makanan atau minumannya, sedangkan pada usia mereka, koordinasi tangan dan kaki memang belum sempurna. Bayangkan ketika kita diminta melakukan sesuatu yang kita tidak atau belum mampu melakukannya. Kita tidak kuasa menolak, tetapi dipaksa untuk bisa melakukan apa yang diminta. Kita tentu akan merasa tertekan.

Stres seringkali memicu anak untuk memberontak (sumber gambar: ruslana_art-Pixabay)


Tidak berbeda jauh dengan anak balita. Apalagi saat keterbatasan bahasa menjadi kendala, kira-kira apa yang akan mereka lakukan sebagai mekanisme pertahanan? Membantah, berteriak atau berkata "tidak" sepertinya satu-satunya opsi yang bisa dilakukan untuk mengekspresikan perasaan stres yang mereka alami.


Merasa terkekang


Seperti yang sudah dibahas pada bagian sebelumnya, bahwa anak balita pun akan merasa lebih senang saat dirinya punya kendali, minimal kendali atas dirinya sendiri. Sayang sekali, kebanyakan balita tidak memiliki kemewahan ini. Wajar saja ketika orang tua lebih banyak mengambil keputusan untuk anak yang masih sangat muda. Orang tua hanya ingin memberikan pilihan terbaik dan melindungi anak bukan? Namun, bayangkan jika segala hal dalam kehidupan kita disetir oleh seseorang. Kita tidak bisa memilih makanan kesukaan, kita tidak bisa memilih waktu kapan harus mandi atau makan, kita tidak bisa memilih melakukan kegiatan yang disukai, terdengar sangat membuat frustrasi bukan?


Meski mereka tampak belum terlalu mengerti, sesungguhnya mereka memiliki sifat dasar yang sama dengan orang dewasa. Seperti manusia kebanyakan, balita juga punya keinginan personal, mereka punya preferensi. Bukan berarti mereka sudah bisa mengambil keputusan sepenuhnya dalam kehidupan mereka. Setidaknya kita bisa memberikan pilihan-pilihan yang membuat mereka merasa punya otonomi.


Baca juga: CARA MENGAJARKAN ANAK SOPAN SANTUN

CARA MENGATASI BALITA YANG SUKA MEMBANTAH


Punya anak balita yang suka membantah tentu memusingkan. Ini berakibat buruk, tidak hanya untuk orang tua tapi juga ananda. Ketika mereka membantah, probabilitas kita naik darah tentu akan meningkat. Urusan pun bisa berbuntut panjang. Sudahlah mereka berada pada posisi yang tidak mudah, ditambah lagi harus menerima hibah amarah dari kita. 


Dengarkan mereka 


Hal paling mendasar dari mengatasi balita yang suka membantah adalah berusaha memahami mereka. Tanggapi apa yang mereka sampaikan seabsurb apapun itu. Membuat mereka merasa didengarkan adalah jalan agar anak mendengarkan orang tua.


Salah satu hambatan yang sering dihadapi saat berkomunikasi dengan balita adalah orang tua merasa anak mereka sulit memahami apa yang disampaikan. Saya pernah membaca di salah satu buku, yang sayang sekali, saya lupa judulnya :(, bahwa menyejajarkan tubuh kita saat menyampaikan pesan kepada pendengar akan memperbesar peluang pesan akan diterima secara benar. 


Hal ini sepertinya juga berlaku saat berkomunikasi dengan balita. Kebanyakan kita mencoba berkomunikasi dengan ananda dengan posisi berdiri. Tidak heran seringkali mereka mengabaikan orang tua saat bicara. Cobalah memposisikan tubuh setinggi mereka. Jika mereka tampak sedang sibuk bermain, raih atensi mereka dengan memberikan sentuhan lembut pada pundaknya. Saat mereka bicara, dengarkan mereka dengan sungguh-sungguh. Jangan memotong saat mereka bicara, dengarkan saja dan mengangguk kecil agar mereka tahu kita masih fokus pada ananda. 


Berusaha memahami dari kacamata anak-anak juga membantu untuk lebih memahami keinginan anak. Semakin intepretasi kita sesuai, semakin kecil rasa putus asa anak untuk membuat orang tua paham. Maka semakin kecil pula drama komunikasi antara orang tua dan anak. Dengan begitu, kita tidak perlu berhadapan dengan bantahan-bantahan yang membuat sakit kepala.


Berikan otonomi


Memberi ruang bagi anak untuk membuat keputusan adalah hal yang amat baik. Bukan hanya membuat anak merasa mandiri dan punya andil dalam hidupnya, tetapi juga mampu membangun kepercayaan diri anak. Meskipun anak kita masih balita, memberikan sedikit kebebasan untuk mengambil kendali dalam hidupnya tidak ada salahnya. Beberapa orang tua mungkin bingung bagaimana cara memberikan ruang untuk seorang anak balita dalam mengambil keputusan. Bukankah mereka belum bisa membuat keputusan? Bagaimana dengan menawarkan sejumlah pilihan dan membiarkan Anak yang memutuskan? Misalnya dalam hal makan siang, daripada menyajikan makanan yang mungkin akan ditolak ananda, tawarkan beberapa menu dan biarkan anak yang memilih. Untuk anak yang lebih besar, kita bahkan bisa memberikan pilihan terbuka dan membiarkan mereka yang memutuskan.


Saya sendiri sering merasa kewalahan untuk meminta anak-anak saya melakukan sesuatu. Biasanya waktu sore adalah waktu kritis yang sangat menyedot energi saya. Memandikan tiga orang balita dan rumah yang berantakan adalah kombinasi ciamik untuk menyulut emosi. Belum lagi penolakan-penolakan yang saya terima ketika mengajak mereka mandi. Pada akhirnya, saya mencoba melibatkan mereka dalam situasi tersebut. Daripada menjadikan mereka sebagai bagian dari "pekerjaan yang harus saya selesaikan", lebih baik meminta mereka membantu saya. Memberikan pilihan untuk mandi atau membantu merapikan mainan adalah hal yang biasa saya lakukan. Pilihannya tergantung dari mood mereka, tetapi apapun pilihan mereka toh itu cukup menguntungkan saya.


Memberikan otonomi juga mengajarkan mereka untuk bertanggung jawab terhadap keputusan yang mereka buat. Memilih makanan sendiri untuk makan siang berarti bersedia untuk menghabiskan makanan tersebut sampai tak bersisa. Membuat balita mengambil keputusan mungkin memang tidak sesederhana itu, karena sebagian besar balita juga belum paham akan konsekuensi. Bahasa mudahnya, omongan mereka belumlah bisa dipegang, seperti pada orang dewasa. Namun, setidaknya memberikan otonomi juga memberikan gambaran bahwa ada konsekuensi pada setiap pilihan. Konsekuensi yang harus dijalani, meski mereka mungkin tidak menyukainya.


Turunkan espektasi


Bantahan sering terjadi karena anak merasa frustrasi. Saya sudah memberikan gambaran tentang bagaimana rasanya ketika kita diminta melakukan sesuatu yang kita belum mampu melakukannya. Mengapa membuat diri sendiri stres dengan melambungkan harapan berlebihan pada anak balita? Ada tahapan perkembangan yang sedang mereka jalani dan ketidaksempurnaan adalah hal yang amat wajar terjadi dalam prosesnya. Turunkan espektasi adalah satu-satunya jalan untuk menurunkan tekanan diantara orang tua dan ananda. 


Menurunkan espektasi juga lebih memanusiakan anak-anak. Biarkan saja mereka menikmati proses belajar dalam kehidupan. Kesalahan-kesalahan kecil tidak akan mengubah kenyataan bahwa setiap anak luar biasa dan istimewa. Semakin sedikit tekanan yang diterima anak-anak kita, semakin kecil upaya mereka untuk memberontak. Saya senang mengumpamakan parenting seperti memelihara sebuah tanaman. Kita tidak bisa memburu tanaman untuk segera tumbuh besar dan berbunga seperti keinginan kita, bukan? Kita menunggu mereka tumbuh dengan sabar sampai mereka menunjukan keindahannya. Mengapa hal serupa tidak bisa kita terapkan saat mendidik dan membesarkan anak-anak kita? Ada waktunya bagi mereka mencapai espektasi kita, bersabarlah dan nikmati setiap proses tumbuh kembang anak-anak kita sesuai dengan usia perkembangannya.


Bersabar menunggu reaksi


Anak balita punya tingkat konsentrasi yang rendah. Kemampuan fokus mereka hanya di bawah sepuluh detik saja. Sangat wajar saat butuh waktu untuk menerima reaksi anak balita saat kiya memanggilnya. Saya sendiri sering kehilangan kesabaran saat anak-anak bergerak begitu lama untuk menyambut panggilan saya. Namun, saya seharusnya menyadari kalau anak-anak memang butuh waktu untuk mengalihkan perhatian, apalagi ketika mereka sedang asyik bermain.


Menyadari kondisi anak-anak membuat saya lebih mawas diri dalam mengasuh mereka. Kalau menurut salah satu pegiat gentle discipline, Sarah Ockwell-Smith, ketika memanggil anak balita, tunggulah 5-6 detik dan kemungkinan besar mereka akan mulai menanggapi Anda. Ketika kita kesal terus menerus memanggil anak, kita terasa seperti orang tua yang tidak sabaran dan membuat anak frustrasi. Cobalah untuk menghitung mundur sampai mereka bereaksi terhadapa panggilan kita. Saya sudah mencobanya, ternyata lumayan terbukti. Saya pun lebih sedikit tarik urat saat memanggil anak-anak saya. Ternyata kunci keberhasilan mendidik anak itu memang kesabaran, meski menerapkannya tidak semudah membaca teorinya.


Cintai mereka apa adanya


Poin ini mungkin tampak klise, tapi jujurlah bahwa tanpa kita sadari, poin ini amat sulit untuk diterapkan. Sangat wajar ketika kita punya espektasi terhadap anak-anak kita, namun jangan biarkan espektasi itu membuat kita lupa bahwa anak-anak adalah amanah yang harus kita cintai dengan segala lebih dan kurangnya. Espektasi sering membuat orang tua lupa memanusiakan anak-anaknya, sehingga tanpa sadar menekan anak secara berlebihan. Tidak mengherankan ketika anak berusaha untuk berontak. Hal ini tidak hanya berlaku pada anak yang lebih besar, pada balita pun seringkali kita menempatkan espektasi berlebihan. Pemicunya mungkin karena kita membandingkan anak kita dengan anak lain. Bahkan anak yang lahir dari rahim yang sama pun tidak patut untuk dibandingkan. Setiap anak unik, maka cintai mereka dengan segala keunikannya.


Anak yang merasa dicintai akan merasa aman dan nyaman di dekat orang tuanya. Anak yang merasa aman dan nyaman di dekat kita tidak akan bersusah payah menarik perhatian dan membuat kita sakit kepala.


Anak membantah mungkin tampak seperti sebuah masalah. Namun, sebagai orang tua kita  perlu menyadari jika di setiap tindakan pasti ada penyebab yang melatarbelakangi. Sekali lagi, tidak ada anak balita yang punya niat buruk pada orang tua. Mereka tidak berencana membuat masalah. Sungguh semua perilaku mereka adalah upaya untuk meraih cinta kita. Maka, yuk! Mulai berdamai dengan perilaku anak yang suka membantah. Bimbing mereka agar mampu berperilaku baik, namun dengan cara yang membuat kita dan ananda bahagia.

Komentar

  1. Haryadi Yansyah8 Februari 2021 13.15

    Tipsnya keren sekali. Bukan mau menyalahkan didikan orang tua (yang jelas dulu ilmu parentingnya masih minim), dulu aku kalau dikit-dikit ngebantah yang ada dimarahin haha. Tapi ya alhamdulillah gak sampe jadi anak yang kesulitan berpendapat juga. Di sisi lain ortu tetap demokratis. Hanya memang, seni ngomong dan mendengarkan itu benar-benar ketat dulu. Kalau ngebantah, diomelin, "hei dengerin dulu orang tua kalau ngomong." hehehehe.

    BalasHapus
  2. Mendidik anak memang super duper complicated yak.
    semoga ALLAH mudahkan kita untuk senantiasa semangaaaattt dan memberikan yg terbaik untuk buah hati.
    Makasiii insight dan tipsnya

    BalasHapus
  3. Mendengarkan itu seperti mudah, tetapi realisasinya sungguh sangat membutuhkan kesabaran dan perjuangan. Itu bagi saya sih. Menghadapi anak itu memang tidak mudah, dan kita sebagai orang tua, tentunya harus bisa sabar dan menerima semua kelebihan dan kekurangan anak kita ya

    BalasHapus
  4. Moch. Ferry Dwi Cahyono8 Februari 2021 19.02

    Orang tua punya beragam cara mengatasi balita dengan segala bentuk ekspresinya. Terus semangat orang tua mendidik dan merawat balita karena mereka investasi masa depa

    BalasHapus
  5. dhenok hastuti8 Februari 2021 22.58

    berkaca pada pengalaman masa kecil, pembandingan yg paling ga menyenangkan itu. even kita punya prestasi lebih baik, tp entah knp orang tua tetap punya cara utk membandingkan. semoga ortu zaman skrg bisa lebih bijak dg segala pembelajarannya ya.. kl aku sendiri, ga yakin bisa mendidik anak :) tapi catatan ini mungkin bisa aku coba terapkan ke anak2 sekitar ^^

    BalasHapus
  6. Setuju banget. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mendengarkan mereka. Kemudian coba memahami maksudnya.

    Bahkan sampai anak-anak sudah remaja pun, saya tidak langsung marah ketika mereka terlihat membantah. Bagi saya dan suami, keberanian mereka mengungkapkan pendapat asalkan masih dalam batas kesopanan, patut dihargai. Kami lebih suka seperti ini. Daripada anak terlihat menurut banget, tapi di belakang kami malah ngebangkang

    BalasHapus
  7. Mutia Ramadhani9 Februari 2021 00.26

    Saya sedang ada di tahap ini. Si kakak 4,5 tahun hobi banget sekarang membantah. Walau pun ujung-ujungnya dia minta maaf karena bikin ibunnya sedih. Saya gak marah, karena semua balita pasti melewati masa-masa ini, termasuk saya dulu. Ini kalo ditilik positifnya bisa mengajarkan anak mempertahankan pendapat dan prinsipnya. Berani berkata TIDAK juga. Asal diarahkan, ke depannya pasti anak akan bisa menempatkan diri.

    BalasHapus
  8. Maria G Soemitro9 Februari 2021 04.31

    hihihi jadi ingat anak-anakku waktu mereka masih kecil
    Ada yang suka bantah, ada yang diem aja (mungkin malas berantem dengan emaknya :D)
    Apapun itu akan jadi kenangan manis sesudah mereka besar
    Ada yang masih suka bantah, tapi ya udah, nggak papa, daripada unek-unek dikluarin ke orang luar ^^

    BalasHapus
  9. Brrcermin pada pendidikan ortu jadul yang kalau membantah langsung dihajar habis-habisan, besoknya pasti aku lakukan hal yang sama. Hehehee. Sedangkan anakku, lebih penurut daripada aku dulu.

    BalasHapus
  10. Nah buat para orang tua nih wajib dibaca nih jadi sebenarnya banyak trik parenting yanng bisa kita terapkan saat berhadapan dengan anak yaa mba

    BalasHapus
  11. Waawww mutual banget ini parenting artikelnya kak.. fix yang calon orangtua dan sedang menjalaani peran orangtua kudu baca. Nyatanya anak perlu dipahami polanya biar ga salah tretment memghadapinya yaa

    BalasHapus
  12. Balita butuh didengarkan juga ya kak. Soalnya mereka mau ngomong atau mau ngungkapin sesuatu kadang juga susah. Jadi akhirnya memberontak dan membantah deh

    BalasHapus
  13. Annie Nugraha9 Februari 2021 11.38

    Jadi orang tua itu belajarnya seumur hidup. Dan setiap jenjang usia anak ada ilmu, perjuangan dan penangannya masing-masing. Meski balita tetap ya harus diperhatikan dan titik kesulitan yang tertinggi adalah membangun komunikasi. Artikel yang wajib dibaca oleh para orangtua nih. Terutama mereka yang masih memiliki balita.

    BalasHapus
  14. Aku nih orangnya suka gak sabaran, makasih banget ilmunya bisa diterapkan jika bertemu anak-anak atau nanti sebagai ibu.
    Bener sih ekspektasi kudu diturunkan dan sabar ditingkatkan.

    BalasHapus
  15. Pertama dengar anak membantah itu rasanya .... jengkel geram marah jadi satu. Apalagi kalau emaknya ini juga lagi banyak pikiran atau buru-buru.

    Tip dalam artikel ini sangat membantu orang tua untuk pelan-pelan memahami anak dan kenapa anak bisa membantah perkataan orang tuanya

    BalasHapus
  16. Fenni Bungsu9 Februari 2021 12.50

    Baca ini sambil belajar melihat Ponakan daku yang akan memasuki usia 2 tahun, kadang suka lari-lari kalau mau dipakaikan baju, hihi. Jadi memang yang dewasa nya ya memahami dia lebih dulu

    BalasHapus
  17. Vivian Wahab9 Februari 2021 14.10

    Pinokio.. bikin inget deh pas dulu baca ceritanya, asiaap bakal dipraktekkan nih tulisan di artikel nya kalau punya Balita lagi hehhe :D

    BalasHapus
  18. Siti Nurjanah9 Februari 2021 15.11

    Saya sering melihat anak yang suka membantah sering disebut Tantrum ya ?
    Tips parentingnya menarik tentu bisa menjadi informasi bermanfaat terlebih bagi orang tua yang belum begitu banyak pengalaman dalam mengatasi kemauan dan inginnya seorang anak

    BalasHapus
  19. Bener banget nih bicara sejajar. Sekarang si bungsu (2,5th) lagi hobi bilang ga mau untuk semua hal. Biasanya dikasih pengertian pelan2 dan iya kita tunggu reaksi mereka karena kadang mereka juga tunggu reaksi kita :D

    BalasHapus
  20. Cara menghadapinya: dengarkan mereka, berikan otonomi, turunkan ekspektasi, sabar menunggu reaksinya, cintai apa adanya. Noted Mom, tfs yaa balita saya ada nih 1 orang si bungsu... kadang suka membantah, hehe

    BalasHapus
  21. Meilia Wuryantati24 Februari 2021 08.59

    Anakku dulu pas masih balita Iyah suka banget membantah nih.. akunya orangnya ga sabaran hehhehe..jadinya anak makin nangis kejer deh..duh bikin emosi kan. Thanks banget nih tipsnya kak.. bisa buat aku save kedepannya nih.. secara aku mau punya anak lagi hehehhe..jadi tahu nanti cara mengatasi nya dengan benar

    BalasHapus

Posting Komentar

Hai! Terima kasih sudah membaca artikel ini. Silahkan tinggalkan komentar untuk saran dan masukan atau jika Moms menyukai tulisan ini. Mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar yah dan komentar Moms akan dimoderasi untuk kenyamanan pembaca blog ini. Salam! (^,^)

Postingan populer dari blog ini

CARA MEMBUAT ECO ENZYME

Setelah berkomitmen untuk belajar gaya hidup hijau, keluarga kami mulai mengkonversi segala produk yang dapat merusak lingkungan, salah satunya adalah sabun. Setelah berhasil membuat sabun lerak, saya pun penasaran membuat jenis sabun lainnya. Kali ini sedikit lebih ekstrem, saya membuatnya dari sampah organik rumah tangga. Dari sampah bisa jadi bahan pembersih? Masa sih? Bisa saja.  Baca juga:  MENCUCI DENGAN SABUN LERAK Dikembangkan oleh Dr. Rosukon Poompanvong, eco enzyme atau cairan organik dari olahan sampah organik rumah tangga bisa dibuat sebagai bahan pembersih. Apa itu eco enzyme? Eco enzyme adalah hasil olahan limbah dapur yang difermentasi dengan menggunakan gula. Limbah dapur dapat berupa ampas buah dan sayuran. Gula yang digunakan pun bisa gula apa saja, seperti gula tebu, aren, brown sugar,dll). Saya pribadi belum berani bikin dari ampas dapur yang aneh-aneh. Saya buat dari kulit buah jeruk dan apel. Agar hasil eco enzyme-nya wangi,hehe. Cara membuat eco

MENGATASI DERMATITIS ATOPIK PADA ORANG DEWASA

Moms yang punya anak bayi mungkin sudah familiar dengan istilah Dermatitis Atopik atau Eczema. Dermatitis atopik adalah kondisi kulit kronis yang menyebabkan serangan gatal-gatal yang kemudian menyebabkan kulit menjadi kering keabuan dan pecah hingga berdarah. Kondisi dermatitis atopik ini umumnya muncul pada bayi dan menghilang seiring dengan pertambahan usia anak. Tapi, tahukah, Moms, kalau ternyata dermatitis atopik juga dapat menyerang orang dewasa? Itulah yang terjadi pada saya, riwayat alergi dan asma yang menurun dari si mamah membuat saya menderita penyakit kulit ini.  dermatitis atopik pada orang dewasa biasanya muncul pada rentang usia 20-30an. Awalnya kulit saya biasa saja. Namun, sekitar tahun 2016, muncul beberapa lenting kecil di jari manis yang kemudian menyebar di seluruh tangan kiri. Lenting atau benjol kecil iti biasanya pecah atau mengering sendiri menjadi kulit yang terkelupas. Tak jarang, kulit terkelupas ini juga meninggalkan luka yang sampai berdarah.

BERKUNJUNG KE KEBUN RAYA BOGOR DI TENGAH PANDEMI

Sejak corona merebak, praktis selama nyaris lima bulan, kami betul-betul di rumah saja. Pergi ke minimarket pun bisa dihitung pakai jari satu tangan. Saya yang biasanya lebih suka di rumah, bahkan sudah mulai jengah. Indikatornya terlihat ketika saya gampang banget marah-marah. Si sulung juga mulai rungsing, pasalnya saya enggak izinkan ia untuk main sepeda sama teman-temannya. Bukan apa-apa, anak-anak masih sangat teledor menjaga kebersihan. Pernah sekali saya izinkan si sulung dan si tengah untuk main bareng teman-temannya. Baru beberapa menit keluar, maskernya sudah entah kemana. Saya dan suami memang berencana untuk mengajak anak-anak untuk berwisata ke Kebun Raya Bogor. Pertimbangannya karena lokasi yang dekat dengan rumah ditambah ruang terbuka yang kami asumsikan lebih aman untuk menjaga diri dari paparan corona. Itu pun maju mundur. Baru berniat pergi di awal minggu, tiba-tiba lihat di media kasus corona bertambah lebih dari seribu. Ciut saya tuh ... daripada